Gambar diambil dari : Qureta.com
Oleh : Agum P. Tubuon
Sebuah kisah disebuah
Negeri Boroh-boroh, terdapat seorang kesatria kondangan yang sering menjadi
suruhan tuan dan puannya bertahun-tahun. Kesatria tersebut bernama Dungu. Acap kali
tuan dan puannya mengeluarkan argumentasi dan regulasi, dungu tertawa kecil. Hanya
karena semua bentuk keputusan tidak bisa diterima oleh akal, sewenang-wenang
membuat keadaan masyarakat boroh-boroh kacau. Rakyat susah.
Meski memiliki kekuatan
yang hebat untuk menghancurkan kekuasaan, tuan dan puannya menjadi debu, dungu
lebih memilih diam. Dungu lebih memilih menjadi kucing penurut. Beberapa pekan kemudian,
sepertinya dungu tak lagi mau diam ia berpikir bahwa mulianya seseorang tidak
bertempat pada status sosial. Abdi negara tidak harus ada pada posisi tertentu.
Ketika keadaan masyarakat boroh-boroh yang semakin tak terkendali,
dungu menggunakan kekuatannya untuk berubah menjadi seorang raja yang memimpin
salah satu Kabupaten (Tuan TJokoyantro) ditempat tinggalnya, Dungu mengobrak
abrik semua tatanan dan merubah pola pikir masyarakat umum di Negeri Boroh-boroh,
bahwa kekuasaan hanya bisa dipimpin oleh segelintir orang dan kekuasaan bisa
mengatur segalanya secara diktaktor, bahwa penguasa punya hak berlaku adil
atau tidak.
Keadaan semakin kacau
para penguasa dibeberapa kabupaten mulai tak karuan hingga mereka bersekutu dan
bersepakat membunuh (Tuan Tjokoyantro) alias Dungu. Yang terjadi bukannlah Dungu
yang terbunuh, justru penguasa-penguasa itu yang babak belur dihabisi oleh oleh
Dungu.
Kekacauan dimana-mana
mengakibatkan para rakyat mulai sadar akan adanya kebebasan mereka merasa
selama ini dibodohi sehingga tuntutan agar hak rakyat terjadi dimana-mana. Sampai
akhirnya Borbrok menyadari bahwa (Tuan Tjokoyantro) itu adalah anaknya yang
menjelma menjadi salah satu penguasa. Borbrok pun langsung turun tangan dan memberikan
peringatan kepada Dungu selaku buah hatinya. “ apa yang sudah kamu perbuat
nak?, hal apa yang sebenarnya kamu inginkan? Apakah kamu merasa terhina menjadi
rakyat biasa? Ataukah kamu merasa mulia atas tindakan ini? Pungkas borbrok.
Dengan nada yang sopan
Dungu membantah pertanyaan tersebut dan menyampaikan kemauannya jauh dari lubuk
hati atas ketidaksukaan Dungu atas tindakan para penguasa Boroh-boroh yang
membuat rakyat sengsara atas tindakan sepihak. Sambil berlutut dihadapan
Borbrok ia berkata “ seharusnya penguasa
itu menghargai rakyatnya, penguasa itu berkorban demi rakyat, tidak malah
mencari makan dari rakyat, kuasa itu bukan sarana untuk membesarkan perut dan
meperkaya diri. Kendati ia masih berkuasa jika cara memimpinnya seperti itu ia
tidak akan dianggap oleh rakyatnya sendiri. Pemimpin itu bukan lagi pemimpin
klalau sudah ditinggal rakyatnya. Siapa yang akan mendukungnya menjadi seorang
pemimpin kalau bukan rakyat? Raja yang sudah tidak lagi mengedepankan
kepentingan rakyat adalah raja yang sudah ditinggalkan tuhannya”.
Inspirasi dari :
Majalah Integrito KPK “ Menuju Catatan Sejarah”